Reflexivity dalam Konteks Pendidikan Tinggi: Membangun Kesadaran di Era Kemajuan Zaman
Reflexivity adalah konsep yang dikembangkan oleh Anthony Giddens, seorang ilmuwan sosiologi terkenal dari Inggris. Dalam bukunya “Structuration,” Giddens mendefinisikan reflexivity sebagai kemampuan manusia untuk refleksi dan pengembangan diri yang terus-menerus, seiring dengan kemajuan zaman. Reflexivity mencakup kemampuan berpikir kritis, imajinasi, kreativitas, inovasi, dan daya prediksi terhadap masa depan. Dalam konteks pendidikan tinggi, reflexivity menjadi elemen penting dalam membentuk individu yang tidak hanya berpengetahuan luas tetapi juga bijaksana dalam mengaplikasikan pengetahuannya.
Giddens mengemukakan bahwa reflexivity berkembang hampir di semua profesi dan latar belakang keilmuan. Dalam dunia akademik, reflexivity memungkinkan mahasiswa dan dosen untuk terus beradaptasi dengan perubahan, mengembangkan metode pengajaran dan penelitian yang inovatif, serta memprediksi dan menghadapi tantangan masa depan dengan lebih baik. Reflexivity juga memungkinkan terciptanya lingkungan akademik yang dinamis dan progresif.
Namun, reflexivity juga membawa risiko dan bahaya yang signifikan. Giddens mengingatkan bahwa perkembangan daya pikir dan inovasi teknologi yang luar biasa bisa membawa dampak negatif yang tidak terduga. Misalnya, kemajuan teknologi informasi yang pesat telah menciptakan berbagai model komunikasi yang canggih, tetapi juga memunculkan masalah seperti privasi dan keamanan data. Demikian pula, kemajuan di bidang medis dan bioteknologi, meskipun membawa banyak manfaat, juga menimbulkan dilema etis yang kompleks.
Dalam wawancaranya bersama media, Dr. Drs. I Nyoman Subanda, M.Si selaku dosen di Universitas Pendidikan Nasional dan juga seorang pengamat sosial dan politik, menyoroti pentingnya “membangun kesadaran” sebagai cara untuk menghadapi tantangan yang dibawa oleh reflexivity. Beliau memberikan contoh tentang bagaimana pendidikan dapat membentuk kesadaran sosial dan etika pada siswa-siswa yang awalnya kurang beruntung. Dr. Subanda mencatat bahwa kesadaran dapat dibangun melalui pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengetahuan akademik tetapi juga pada nilai-nilai moral dan sosial.
“Untuk mengurangi resiko reflexivity ini, Giddens memberikan saran agar manusia modern bijak menghadapi berkembangnya reflexivity. Giddens dengan tegas mengatakan bahwa reflexivity yang berkembang pada setiap manusia yang ada harus dihentikan dengan tradisi. Ternyata tradisi yang dimaksudnya Giddens adalah seperangkat aturan baik yang formal maupun informal dan bisa juga merupakan kesepakatan bersama di masyarakat.” papar Dr. Drs. I Nyoman Subanda, M.Si.
Dalam konteks pendidikan tinggi, membangun kesadaran ini bisa diwujudkan melalui integrasi kearifan lokal dan nilai-nilai budaya dalam kurikulum. Mengajarkan mahasiswa tentang pentingnya etika, tanggung jawab sosial, dan kearifan lokal dapat membantu mereka menggunakan kemampuan reflexivity mereka dengan cara yang positif dan konstruktif. Tradisi dan kearifan lokal dapat menjadi penyeimbang terhadap bahaya dan risiko yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi dan inovasi.
Indonesia, dengan kekayaan kearifan lokalnya, memiliki potensi besar untuk memanfaatkan reflexivity secara positif. Pendidikan tinggi di Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana reflexivity bisa diarahkan untuk meningkatkan martabat dan memperkuat interaksi sosial. Dengan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam pendidikan, Indonesia tidak hanya dapat mengejar kemajuan teknologi tetapi juga menjaga keseimbangan sosial dan moral.
Giddens menegaskan bahwa reflexivity yang dikembangkan dengan bijaksana dapat menjadi kekuatan yang luar biasa. Pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam membentuk individu yang mampu berpikir kritis dan reflektif, serta memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Dengan demikian, reflexivity bukan hanya tentang kemampuan berpikir dan berinovasi, tetapi juga tentang tanggung jawab untuk menggunakan kemampuan tersebut demi kebaikan bersama.
Konsep reflexivity dari Anthony Giddens menunjukkan bagaimana kemampuan berpikir manusia berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Namun, kemajuan ini juga membawa risiko yang harus dihadapi dengan bijak. Dalam konteks pendidikan tinggi, membangun kesadaran melalui integrasi nilai-nilai moral dan kearifan lokal menjadi sangat penting. Dengan demikian, reflexivity dapat diarahkan untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya cerdas tetapi juga beretika dan bertanggung jawab.