Negara Indonesia dan Negara kawasan ASEAN targetkan transformasi Green Energy tercapai pada tahun 2030
Negara-negara di Asia Tenggara saat ini tengah berjuang untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi mereka dan membuka potensi Green Economy, sebuah studi terbaru menemukan, Indonesia mungkin berada pada posisi yang baik untuk memanfaatkan ledakan energi terbarukan di masa depan.
Laporan Southeast Asia’s Green Economy 2023, yang diterbitkan pada hari Selasa oleh Bain & Company, Temasek, GenZero, dan Amazon Web Services, menemukan bahwa wilayah Asia Tenggara diproyeksikan membutuhkan investasi lebih dari US$1,5 triliun pada tahun 2030 dalam memenuhi target depresiasi emisi mereka, Hal tersebut diukur berdasarkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) dari masing-masing negara.
Namun, data memproyeksikan penyebaran modal dalam transformasi Green Economy telah melambat selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, US$5,2 miliar diinvestasikan dalam proyek-proyek, turun 7 persen dari tahun sebelumnya. Proyek-proyek energi terbarukan menghadapi rintangan yang tinggi, dengan investor mengharapkan return lebih dari 20%, tentunya return tersebut sulit dicapai dalam situasi ekonomi yang ada.
Menurut laporan tersebut, lebih dari setengah Green Investment pada tahun 2022 terdapat di Singapura dan Indonesia. “Oleh karena itu, pemerintah (Asia Tenggara) harus fokus terlebih dahulu pada solusi yang terbukti untuk menyeimbangkan permintaan energi yang meningkat sambil mengurangi emisi karbon,” menurut Dale Hardcastle, kepala pasar karbon global dan direktur pusat inovasi keberlanjutan global di konsultan Bain & Company.
Indonesia, Singapura, Thailand, dan Vietnam semuanya telah bersepakat untuk berupaya secara signifikan mengurangi emisi negara mereka sebesar 33 persen pada tahun 2030.
Empat tersebut negara menyumbang lebih dari 80 persen emisi di kawasan Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar, diikuti oleh Vietnam, Thailand, dan Malaysia, menurut laporan tersebut. Diproyeksikan pula bahwa tiga negara pertama tidak mungkin mencapai target pengurangan emisi di 2030. Dimana, Tiga kawasan itu saat ini masih bergantung pada bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi, serta masih bergantung pada pendanaan internasional untuk beralih ke energi yang lebih bersih.
Selain itu, kawasan ini memiliki tingkat masyarakat kelas yang sedang berkembang cukup tinggi, sehingga membuat pengurangan emisi menjadi tugas yang sangat berat di tengah meningkatnya permintaan energi serta biaya yang terjangkau.
Tetapi tidak menutup kemungkinan Negara Indonesia berpotensi mendapatkan keuntungan terbesar dari negara Asia Tenggara mana pun dalam Green Economy, menurut laporan tersebut, Indonesia memiliki beberapa cadangan nikel, timah, dan tanah jarang terbesar di dunia, yang semuanya merupakan mineral penting untuk produksi baterai yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik.
Indonesia mungkin juga memiliki potensi untuk menjadi pengekspor energi terbarukan bersih, bersama Kamboja, Laos dan Thailand, untuk membantu negara-negara lain di kawasan ini memenuhi permintaan mereka dan membantu menjadikan kawasan ini secara keseluruhan mandiri. Indonesia memiliki sekitar 3.674 Gigawatt (GW) sumber daya energi terbarukan, jauh melampaui permintaan listrik yang diproyeksikan sebesar 261 GW pada tahun 2050, menurut laporan.
“Kerja sama regional berfungsi sebagai kunci untuk membuka potensi penuh ekonomi hijau yang efektif dengan mengumpulkan modal dan keahlian yang diperlukan untuk sepenuhnya mengembangkan peluang di pasar alam, teknologi, dan karbon,” kata Frederick Teo, CEO perusahaan investasi GenZero.
Laporan tersebut mengatakan bahwa Indonesia memiliki peluang investasi terbesar dalam proyek perlindungan hutan yang layak secara finansial di Asia Tenggara, yang diperlukan untuk menghasilkan stok karbon untuk perdagangan karbon, berjumlah setengah dari antara $20 miliar dan $30 miliar dalam potensi investasi solusi berbasis alam tahunan. Namun, terlepas dari potensi yang melimpah, proses persetujuan yang lambat, kurangnya daya tarik keuangan dan ketidakpastian peraturan menahan Indonesia dan negara-negara lain di kawasan ini dalam upaya Green Economy.
Masalah lain yang diketahui dari investor termasuk, biaya modal yang tinggi, akses pasar yang terbatas, pengembalian investasi yang rendah dan arahan pemerintah yang belum jelas merupakan tantangan lain yang menjadi penghambat dalam berjalannya Green Investment di Indonesia. Bagi Indonesia, tantangannya juga termasuk kebijakan konservasi hutan, yang mengalami revisi tak terduga dan menjadi tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.