Mengintegrasikan Nilai Agama dalam Pendidikan untuk Membangun Karakter
Denpasar – Di era modern ini, peran pendidikan tidak hanya terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter generasi muda. Dr. Drs. I Nyoman Subanda, M.Si, seorang dosen dari Universitas Pendidikan Nasional Denpasar, dalam narasinya yang inspiratif, memberikan perspektif unik tentang pentingnya nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa menjadi refleksi dalam sistem pendidikan kita di tahun 2024 ini.
Dr. Subanda berbagi pengalamannya saat berinteraksi dengan seorang mahasiswa Jerman, Lisa, yang memberikan pandangan sederhana namun mendalam tentang agama yang dituangkan dalam artikel pada media online atnews.id “Agama adalah Rem”. Lisa mengatakan, “Agama adalah rem untuk pikiran, perbuatan, dan perkataan yang tidak bagus. Jika anda berpikiran tidak bagus, harus segera rem, jika anda berperilaku tidak pantas, segera injak rem, jika perkataanmu tidak benar, injak rem. Tujuannya agar pikiran, perbuatan, dan perkataan yang tidak bagus bisa dikurangi dan bila perlu dihentikan.”. Pandangan ini menekankan bahwa nilai-nilai agama dapat berfungsi sebagai kontrol diri yang esensial dalam kehidupan seseorang.
Mengambil inspirasi dari pandangan ini, penting bagi kita untuk memasukkan pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai agama ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi, seringkali kita melihat generasi muda yang kehilangan arah dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai agama yang diajarkan di sekolah dapat menjadi pemandu bagi mereka untuk memahami pentingnya integritas, kejujuran, dan tanggung jawab.
Kita tentu dapat melihat bahwa pendidikan karakter harus diajarkan secara holistik, dengan menekankan pada pentingnya moral dan etika yang bersumber dari ajaran agama. Ini bukan berarti mengajarkan dogma agama tertentu, tetapi lebih kepada mengajarkan prinsip universal seperti kasih sayang, toleransi, dan penghormatan terhadap sesama. Dalam konteks ini, agama menjadi alat yang membantu siswa mengembangkan kemampuan refleksi diri dan pengendalian diri yang lebih baik.
Dalam tulisan yang beliau bagikan kita juga diingatkan bahwasanya, “Agama itu jangan dijadikan mobil. Anda pelihara, anda cuci, anda tumpangi, selanjutnya anda tabrakan. Agama jangan membikin kamu susah dan jangan digunakan menyusahkan orang lain.”. Pesan ini relevan bagi sistem pendidikan kita, di mana kita perlu memastikan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tidak menjadi beban, tetapi menjadi sumber kekuatan dan inspirasi bagi mahasiswa.
Integrasi pendidikan karakter yang berbasis agama dalam kurikulum dapat dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya, melalui program-program ekstrakurikuler, proyek pelayanan masyarakat, dan diskusi etika yang mengajak siswa untuk berpikir kritis tentang aplikasi nilai-nilai moral dalam kehidupan nyata. Hal ini juga sejalan dengan konsep “Merdeka Belajar” yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, di mana siswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi dan menginternalisasi nilai-nilai positif secara lebih mendalam.
Dengan demikian, nilai agama dalam pendidikan tidak hanya membentuk individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan moral yang baik. Pendidikan yang menyatu dengan nilai-nilai agama akan menghasilkan generasi yang tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi juga bijaksana dalam bertindak dan berbudi luhur dalam kehidupan sehari-hari.