Memanfaatkan Popularitas Orang Lain: Refleksi Politik dari Fenomena Farel Prayoga
Denpasar – Di era digital saat ini, popularitas dapat menjadi alat yang sangat kuat, tidak hanya dalam dunia hiburan tetapi juga dalam ranah politik dan sosial. Fenomena Farel Prayoga, seorang anak yang viral setelah tampil memukau di mimbar istana presiden pada perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2022 silam, memberikan kita wawasan mendalam tentang bagaimana popularitas seseorang bisa dimanfaatkan oleh berbagai tokoh publik.
Farel Prayoga adalah contoh nyata bagaimana panggung popularitas bekerja. Setelah penampilannya yang memukau di istana, Farel diundang oleh berbagai tokoh dari menteri, gubernur, hingga pengusaha besar. Tidak hanya pejabat publik, para artis papan atas juga berlomba-lomba untuk mengundangnya tampil di berbagai acara. Fenomena ini menunjukkan bahwa “para tokoh dari berbagai profesi akan terangkat lagi popularitasnya melalui panggung Farel,” seperti yang diungkapkan oleh Dr. Drs. I Nyoman Subanda, M.Si. Mereka yang sudah populer ingin menambah popularitasnya, sedangkan yang kurang terkenal ingin mendapatkan perhatian publik melalui asosiasi dengan Farel.
Dalam dunia yang semakin terhubung melalui media sosial, netizen memegang peranan penting dalam menentukan siapa yang mendapatkan sorotan. Farel Prayoga, dengan popularitasnya, menjadi magnet bagi netizen. Para tokoh publik yang tampil bersama Farel otomatis mendapatkan daya tarik tambahan di mata netizen. Ini sejalan dengan pernyataan Dr. Subanda bahwa, “dengan menempel Farel Prayoga, seseorang akan memiliki magnet gaya tarik dan daya sinar yang memancar ke seluruh penjuru.” Popularitas di media sosial ini tidak hanya meningkatkan citra mereka tetapi juga mendongkrak elektabilitas, terutama bagi tokoh-tokoh politik yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk meningkatkan penerimaan publik.
Farel juga menjadi simbol kepedulian sosial. Mengundang Farel dan menunjukkan kepedulian terhadapnya seolah-olah mencerminkan kepedulian terhadap masyarakat miskin dan tertindas. “Dengan menyayangi Farel, maka kita akan peduli dengan orang miskin,” kata Dr. Subanda. Tokoh-tokoh publik memanfaatkan ini untuk membangun citra sebagai orang yang peduli terhadap kemiskinan dan kemanusiaan. Namun, kepedulian ini seringkali hanya menjadi alat pencitraan di mata publik daripada tujuan yang sebenarnya. Melalui Farel, mereka bisa membangun citra positif dan kampanye kemanusiaan yang dikemas dengan baik.
Dari fenomena Farel Prayoga, ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil. Pertama, banyak tokoh publik lebih suka berebut panggung popularitas daripada menciptakan panggung mereka sendiri. Kedua, mereka lebih suka memanfaatkan magnet popularitas orang lain daripada menggali potensi magnet dalam diri mereka sendiri. Ketiga, kepedulian yang mereka tunjukkan seringkali lebih bersifat pencitraan daripada kepedulian yang tulus.
Sebagaimana disimpulkan Dr. Subanda, “Kepedulian itu abstrak, kepedulian itu hanya jalur, bukan tujuan. Kepedulian itu demi kita, bukan demi dia. Kepedulian itu di mata netizen, bukan di hati yang peduli.” Pernyataan ini menegaskan bahwa tindakan yang terlihat peduli dan dermawan di media seringkali didorong oleh kepentingan pribadi untuk meningkatkan citra dan popularitas, daripada dorongan tulus untuk membantu orang lain.
Fenomena Farel Prayoga mengajarkan kita banyak hal tentang dinamika popularitas dan kepedulian di era digital. Ia menunjukkan bagaimana popularitas seseorang bisa dimanfaatkan oleh berbagai tokoh untuk mendongkrak citra mereka. Hal ini mengingatkan kita untuk lebih kritis dalam melihat tindakan kepedulian di media, dan mengajak kita untuk menggali potensi diri sendiri untuk menciptakan panggung popularitas yang autentik dan kepedulian yang tulus. Fenomena ini juga mengajak kita untuk refleksi, apakah kita menggunakan popularitas dan kepedulian sebagai alat pencitraan, atau benar-benar untuk tujuan yang lebih mulia.