Melawan Kotak Kosong: Menata Ulang Demokrasi untuk Keadilan dan Institusi yang Kuat
Denpasar – Pada tahun 2024 ini, dunia terus berjuang untuk memperkuat pilar-pilar demokrasi yang mendukung perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat. Dalam konteks ini, fenomena kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia menjadi sorotan penting. Dr. Drs. I Nyoman Subanda, M.Si, seorang dosen di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, memberikan pandangan mendalam tentang makna melawan kotak kosong dalam Pilkada dan implikasinya bagi demokrasi yang sehat.
Dr. Subanda menjelaskan bahwa memaknai sebuah fenomena sosial adalah tentang memberikan interpretasi. Fenomena kotak kosong, yang muncul dalam Pilkada, telah terjadi beberapa kali di berbagai daerah Indonesia. Menariknya, kotak kosong kerap kali memenangkan pemilihan melawan calon yang diusung oleh koalisi partai politik. Fenomena ini mencerminkan berbagai masalah dalam sistem politik dan demokrasi kita.
Dari perspektif partai politik, Dr. Subanda menekankan bahwa partai politik memiliki fungsi dasar seperti political selection (memilih calon pemimpin politik) dan kaderisasi (melakukan kaderisasi dalam politik). Munculnya kotak kosong menunjukkan kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi ini. Partai politik seharusnya selalu siap dengan calon yang akan diusung, namun kenyataannya, banyak partai tidak siap karena tidak mampu melakukan seleksi dan kaderisasi yang efektif.
Dalam perspektif kekuasaan, kotak kosong mencerminkan kegagalan partai politik dalam membangun kepercayaan dan elektabilitas di mata masyarakat. Kekuasaan bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi tentang kemampuan membangun kepercayaan dan simpati masyarakat. Ketika partai politik tidak percaya pada kemampuan elektabilitasnya, mereka enggan mengusung calon, yang menunjukkan ketidakpercayaan diri dan kegagalan dalam membangun hubungan yang kuat dengan konstituen mereka.
Pilkada adalah ajang bagi partai politik untuk mengadu visi dan misi calon kepala daerah. Dr. Subanda menunjukkan bahwa kegagalan partai politik mengusung calon berarti mereka gagal merumuskan kebijakan yang relevan untuk daerah tersebut. Idealnya, Pilkada adalah tempat untuk beradu visi dan misi serta program yang dapat diambil oleh pejabat publik.
Dari perspektif masyarakat, kotak kosong berarti hilangnya alternatif pilihan. Pilkada seharusnya memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon pejabat publik terbaik. Namun, ketika hanya ada satu calon melawan kotak kosong, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih berdasarkan penilaian yang adil dan berdasarkan hati nurani. Demokrasi yang sehat melibatkan masyarakat dalam semua tahap proses Pilkada, dari seleksi hingga pemilihan.
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada tidak hanya mencerminkan demokrasi yang tidak sehat tetapi juga kegagalan institusi politik dalam menjalankan fungsi mereka. Untuk mencapai tujuan Peace, Justice, and Strong Institutions, diperlukan partai politik yang mampu menjalankan fungsi seleksi dan kaderisasi dengan baik, membangun kepercayaan dengan masyarakat, serta merumuskan kebijakan yang relevan dan visioner.
Pada tahun 2024 ini, kita perlu belajar dari masa lalu untuk memperkuat institusi kita. Demokrasi yang sehat membutuhkan partai politik yang bertanggung jawab, masyarakat yang terlibat aktif, dan proses yang transparan. Dengan memahami dan mengatasi fenomena kotak kosong, kita dapat memperkuat demokrasi kita dan memastikan bahwa institusi kita berdiri kokoh untuk mendukung perdamaian dan keadilan.
Melalui pandangan Dr. Drs. I Nyoman Subanda, M.Si, kita diajak untuk merenungkan dan bekerja bersama dalam membangun institusi yang kuat dan demokrasi yang sehat di Indonesia. Mari kita gunakan pelajaran ini untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dan lebih adil bagi semua.