Perlindungan Hukum Bagi Usaha Mikro Kecil Melalui Kontrak Kemitraan Konsinyasi
Denpasar – Dalam era digital yang semakin canggih seperti sekarang, beberapa konsep bisnis mungkin telah tenggelam ke dalam latar belakang, termasuk konsep kemitraan konsinyasi. Namun, dalam praktiknya, pola kemitraan ini masih menjadi salah satu model dasar yang umum digunakan dalam menjalin kerjasama antara pelaku usaha, terutama dalam kerjasama antar perusahaan (B2B).
Sistem konsinyasi sendiri merupakan suatu bentuk perjanjian bisnis di mana pemilik barang (konsignor) menyerahkan barang-barangnya kepada pihak lain (konsinyee) untuk dijual atau dijualkan dengan syarat bahwa pemilik barang akan menerima pembayaran setelah barang terjual. Dalam sistem ini, pemilik barang tetap memegang kepemilikan barang sampai barang tersebut benar-benar terjual kepada konsumen akhir. Sistem konsinyasi biasanya digunakan dalam berbagai jenis industri, seperti industri fashion, perhiasan, buku, dan barang-barang antik. (8/8/2023)
Namun, jika diperhatikan lebih mendalam, pola kemitraan konsinyasi memiliki banyak kelemahan dari segi pengaturan dan perlindungan hukum. Hal ini dapat berdampak merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam pola kemitraan ini. Sebagai contoh, sering kali pengusaha mikro kecil dengan bargaining power yang lemah menghadapi kesulitan dalam bernegosiasi dengan perusahaan besar, yang dapat berujung pada kerugian dalam pola kemitraan yang dijalin.
Salah satu masalah utama dalam pola kemitraan konsinyasi adalah kurangnya perjanjian tertulis yang jelas mengenai hak dan tanggung jawab dari masing-masing pihak. Akibatnya, pola kemitraan ini seringkali hanya berdasarkan kepercayaan belaka tanpa dasar hukum yang kuat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dr. Kadek Januarsa Adi Sudharma, SH., MH., CPCLE., C.Med., Ccd. seorang dosen di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) yang pada 8 Agustus 2023 kemarin telah menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Udayana. Menyoroti perlunya perlindungan hukum yang lebih baik bagi usaha mikro kecil yang terlibat dalam pola kemitraan konsinyasi.
Dr. Januardi menekankan pentingnya untuk memiliki perjanjian konsinyasi yang jelas dan rinci antara konsignor dan konsinyee, termasuk hal-hal seperti persentase pembagian keuntungan, periode waktu penjualan, pemeliharaan dan asuransi barang, serta mekanisme pengembalian barang yang tidak terjual. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan kedua belah pihak serta mencegah potensi konflik di masa depan.
Salah satu solusi yang diusulkan oleh Dr. Januardi adalah merujuk pada konsep welfare state, yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, merata, dan berkelanjutan. Pemerintah diharapkan dapat berperan dalam menyusun regulasi yang jelas dan komprehensif untuk mengatur hubungan kemitraan antara usaha mikro kecil dan usaha besar.
Reformulasi terhadap pasal 87 UU Cipta Kerja 2023 juga diusulkan oleh Dr. Januardi, dengan menambahkan poin-poin khusus yang berkaitan dengan kemitraan konsinyasi. Hal ini akan memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaku usaha mikro kecil yang terlibat dalam pola kemitraan.
Melalui penelitiannya, Dr. Januardi berharap dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pelaku usaha mikro kecil tentang pentingnya memiliki kontrak kemitraan yang jelas dalam menjalin kerjasama bisnis. Selain itu, upaya ini juga diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk lebih aktif dalam melindungi hak dan kepentingan usaha mikro kecil dalam dunia bisnis yang semakin kompleks.