Pragmatisme dan Politik Sodagar
Tulisan ini merupakan review dari tulisan saya sebelumnya yang berujud pragmatisme dunia politik, yang telah dimuat oleh media mssa online. Tema ini nampaknya masih relevan untuk di publis kembali karena fenomena yang terjadi pada pemilu yang kita ikuti pada 12 Februari 2024 yang lalu mereflksikan dengan sangan jelas tentang politik sodagar ini.
Prakek politik sodagar (transaksional) pada pemilihan Presiden dan legisatif dilakukan dengan sangat vulgar oleh politisi –politisi kita. Transaksi jual beli suara dilakukan secara terang benerang dan tidak ada satupun diantara kita yang erasa bersalah.
Kebetulan pemilu pada Februari lalu itu berdekatan dengan Hari Raya Galungan, maka paket Galungan Rp 500 000 sampai Rp 1 juta sebagai konfensasi suara dalam Pemilu sangat banyak terjadi.
Fenomena ini juga menguatkan temuan penelitian saya sebelumnya bahwa dunia politik kontemporer saat ini terutama di Indonesia dicirikan oleh beberapa hal yang sangat menonjol yakni : kapitalisme dunia politik, low trust society, politik dinasti, dan pragmatisme dunia politik.
Beberapa fenomena di atas bisa saling terkait dan bisa menjadi sebab akibat diantara konsep yang satu dengan konsep yang lain, namun bisa juga muncul secara parsial. Untuk tulisan kali ini, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat poret politik kita dari sudut pandang (angle) pragmatisme dan politik sodagar.
Pragmatisme pada dasarnya berlawanan dengan konsep idealisme. Kalau idealisme dilandasi oleh nilai – nilai moral dan etika. Politik yang berpijak kepada kebenaran, kepatutan, kejujuran, dan nilai – nilai etika politik yang lain, maka pragatisme beranjak kepada realitas sosial yang ada, kepentingan dan kondisi yang dialami oleh masyarakat. Oleh karena itu, maka pragmatisme dapat menimbulkan politik saudagar yang memberlakukan hukum pasar dalam politik.
Pada era pragmatisme politik ini suplay dan demand menjadi motto dalam setiap helatan politik. Terjadinya hukum pasar atau politik saudagar ini memberikan peluang besar pada kaum kapitalis untuk menjadi pemenang dalam kompetisi politik.
Dengan modal yang dimiliki, kaum kapitalis bisa membeli posisi strategis dalam partai bahkan mungkin “membeli partai”, membeli rekomendasi sampai dengan membeli suara dalam pemilu maupun pilkada.
Implikasinya lebih jauh, masyarakat tidak mempunyai harapan masa depan terhadap helatan politik karna mereka telah menjual suaranya ketika pemilu ataupun pilkada. Sebaliknya kaum kapitalislah yang mempunyai hak untuk menentukan arah kebijakan sesuai dengan niat dan orientasi si kapitalis.
Politik Saudagar yang dilandasi oleh politik pragmatisme ini tidak berhenti pada satu helatan politik namun juga berimplikasi lebih jauh dalam proses pelayanan dan prioritas pembangunan. Ketika kaum kapitalis telah menduduki jabatan publik, maka pejabat publik tersebut (baik di eksekutif maupun di legislatif) akan memberlakukan hukum ekonomi dalam mengarahkan bantuan, menentukan prioritas pembangunan, dan juga pelayanan kepada masyarakat.
Prioritas pembangunan dan pelayanan seperti pengaspalan jalan, bansos, dan pelayanan umum lainnya akan diutamakan kepada kelompok atau entitas dimana pejabat publik tersebut mendapatkan suara banyak ketika pemilihan dilangsungkan.
Pada daerah-daerah, wilayah, atau entitas sosial yang tidak memberikan kontribusi suara banyak kepada kaum kapitalis tersebut, mereka akan menjadi “kelompok merana” karena, kemungkinan tidak dijangkau oleh berbagai fasilitas pelayanan maupun program pembangunan bahkan mungkin tidak disentuh sama sekali.
Politik saudagar ini juga bisa terjadi pada lingkungan birokrasi pemerintah. Posisi jabatan struktural yang strategis yang sering disebut dengan “posisi basah” menjadi barang dagangan yang bisa dijual oleh pejabat publik kepada birokrat-birokrat yang menginginkan posisi strategis tersebut. Jabatan strategis di eselon I, eselon II, sampai dengan eselon III, seringkali menjadi barang dan jasa yang bisa diperjualbelikan.
Karena pragmatisme beranjak pada kepentingan praktis si pelaku (politisi dan masyarakat) maka keadilan menjadi subjektif. Bagi masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan, tentu akan berpandangan bahwa pemerintah atau pejabat publik dari kaum kapitalisme tersebut tidak adil.
Namun, bagi pejabat publik tersebut mereka akan berpandangan sebaliknya, bahwa mereka telah berbuat adil kepada masyarakat sesuai dengan kontribusinya pada si pejabat publik tersebut. Adil dalam konteks pejabat publik tentu sifatnya adalah keadilan berdasarkan hukum pasar atau politik saudagar.
Harapan masyarakat untuk menghasilkan pejabat publik yang berjiwa negarawan, mungkin akan sulit tercapai dalam era pragmatisme dunia politik ini. Seorang negarawan, akan berprinsip “Think About Our Countries and Think Abou tNnexk Generation” yang dapat dimaknai berpikir tentang kemajuan dan citra negara, dan berpikir tentang generasi ke depan.
Kaum kapitalisme mungkin akan berhenti sampai menjadi politisi dan kapitalisme saja. Pada dasarnya seorang politisi akan menjalankan misinya dengan motto Think About Power, yakni berpikir untuk mendapat kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, dan bilamana perlu mewariskan kekuasaan (politik dinasti). Apakah negara akan maju, masyarakat akan sejahtera, atau generasi penerus bangsa akan mempunyai prospek masa depan? Itu menjadi urusan yang kedua.
Namun yang utama adalah mencapai puncak kekuasaan tersebut. Dengan kekuasaan, para kaum kapitalis akan dapat merumuskan kebijakan – kebijakan yang menguntungkan usaha mereka dan dapat membuat lebih cerah iklim investasi yang akan mereka kembangkan. Antara dunia politik dan dunia usaha menjadi dualitas yang saling mengandaikan bukan dualisme yang saling kontrol.
Pertanyaan berikutnya bagaimana menghentikan pragmatisme politik ini? Pragmatisme dunia politik adalah multidimensi. Ibaratkan sebuah penyakit komplikasi, sehingga diperlukan pengobatan atau terapi yang multi level dan holistik.
Awal terapi yang dapat dilakukan adalah pada level partai politik terutama dalam proses rekrutmen politik baik untuk calon legislatif, eksekutif, maupun pejabat publik yang lain. Partai politik bisa menerapkan idealismenya dan menghentikan transaksional politik, sehingga saudagar politik bisa diminimalisir.
Selanjutnya, partai politik dapat melakukan fungsi berikutnya yakni political education.
Pendidikan politik harus dilakukan sejak dini pada generasi muda, baik pada siswa, mahasiswa, maupun generasi muda di pedesaan melalui karang taruna atau muda-mudi yang ada di dusun.
Dalam konteks masyarakat Bali, partai politik bisa berpartner dalam melakukan political education ini, dengan beberapa perguruan tinggi, sekolah, maupun banjar, desa adat, atau otoritas tradisional yang ada di Bali.
Langkah awal ini, harus terus dilakukan secara berkesinambungan dan selanjutnya partai politik bisa melaksanakan fungsi kontrolnya yang dibarengi sanksi recall terhadap pejabat publik yang tidak melaksanakan ideologi dan idealisme partai.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat diimplementasikan. Kita ingin, politik dan demokrasi Indonesia sehat dan menghasilkan politisi-politisi yang bermartabat.
Sumber: https://atnews.id/portal/news/21872/