Pentingnya Pendidikan Politik untuk Menghentikan Pragmatisme Dunia Politik
Denpasar – Dalam lanskap politik Indonesia yang terus berkembang, pragmatisme telah menjadi ciri dominan yang mengaburkan idealisme yang seharusnya menjadi landasan utama. Dalam tulisan Dr. Drs. I Nyoman Subanda, M.Si, dosen Universitas Pendidikan Nasional Denpasar, dijelaskan mengenai fenomena pragmatisme dalam dunia politik Indonesia yang semakin mencolok. Politik kontemporer di Indonesia saat ini dicirikan oleh kapitalisme politik, rendahnya kepercayaan masyarakat (low trust society), politik dinasti, dan pragmatisme. Dr. Subanda menganalisis bahwa pragmatisme politik bertentangan dengan idealisme yang dilandasi oleh nilai-nilai moral dan etika, serta mencerminkan realitas sosial yang berorientasi pada kepentingan praktis.
Pragmatisme politik menciptakan apa yang disebut Dr. Subanda sebagai “politik saudagar,” di mana hukum pasar diterapkan dalam politik. Fenomena ini memungkinkan kaum kapitalis untuk memanfaatkan modal mereka guna memenangkan kompetisi politik, membeli posisi strategis dalam partai, hingga membeli suara dalam pemilu. Akibatnya, masyarakat yang telah menjual suaranya kehilangan harapan masa depan terhadap politik, sementara kaum kapitalis mendapatkan hak untuk menentukan arah kebijakan sesuai kepentingan mereka.
Implikasi dari pragmatisme politik tidak berhenti pada satu siklus pemilihan, tetapi berlanjut dalam proses pelayanan publik dan prioritas pembangunan. Pejabat publik yang berasal dari kaum kapitalis cenderung mengutamakan pembangunan dan pelayanan kepada kelompok yang memberikan kontribusi suara besar, sementara kelompok lain menjadi “kelompok merana” yang mungkin tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Selain itu, posisi jabatan strategis dalam birokrasi pemerintah juga menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan.
Menurut Dr. Subanda, pragmatisme politik ini menimbulkan keadilan yang subjektif. Masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan merasa pemerintah tidak adil, sedangkan pejabat publik merasa telah berbuat adil berdasarkan kontribusi suara yang diterima. Hal ini menghambat lahirnya pejabat publik berjiwa negarawan yang memikirkan kemajuan negara dan generasi masa depan.
Untuk mengatasi pragmatisme politik ini, dirinya menyarankan terapi multidimensi yang dimulai dari partai politik. Partai politik harus menerapkan idealisme dan menghentikan politik transaksional, serta menjalankan fungsi pendidikan politik (political education). Pendidikan politik harus dimulai sejak dini pada generasi muda, baik di sekolah, perguruan tinggi, maupun di komunitas lokal melalui karang taruna atau kelompok muda-mudi.
Partai politik juga harus berpartner dengan perguruan tinggi, sekolah, dan otoritas tradisional dalam melakukan pendidikan politik ini. Langkah ini harus dilakukan secara berkesinambungan dan disertai dengan fungsi kontrol serta sanksi recall terhadap pejabat publik yang tidak melaksanakan ideologi partai.
Pentingnya pendidikan politik untuk generasi muda tidak bisa diremehkan. Dengan pendidikan politik yang baik, diharapkan akan lahir politisi-politisi yang bermartabat, berjiwa negarawan, dan mampu membawa perubahan positif bagi bangsa. Harapan Dr. Subanda, politik dan demokrasi di Indonesia bisa menjadi lebih sehat dan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang dapat memajukan negara serta kesejahteraan masyarakat.