Dari Feodalisme ke Dinasti Politik
Istilah Feodalisme pertama kali muncul di Eropa khususnya di Inggris pada abad keemasan ketika Negara Inggris berada pada puncak kejayaan dan menjadi imperialisme yang kuat.
Imperialisme muncul setelah era kejayaan Romawi masa reinaisanse runtuh yang diawali dengan pecahnya wilayah Romawi menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur. Konsep Feodalisme mengacu pada kekuasaan kalangan aristokrat yakni keluarga raja di Inggris pada abad keemasan imperialisme Inggris.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari istilah feodalisme sering kali dipergunakan untuk memaknai prilaku negatif seorang penguasa yang selalu ingin dihormati dan cenderung ingin mempertahankan nilai-nilai lama yang sudah mulai ditinggalkan.
Acap kali juga feodalisme ini dimaknai sebagai prilaku penguasa yang tidak demokratis dan berusaha sekuat tenaga mempertahankan dinasti kekuasaanya. Dalam konteks Indonesia istilah feodalisme oleh Cliffort Geertz dipergunakan untuk menjelaskan karakteristik feodal kalangan ningrat atau priyayi di Indonesia khususnya suku Jawa.
Dalam bukunya Priyayi, Santri, dan Abangan, Cliffort Geertz mengulas tentang kekuasaan feodal yang tersirat dalam tiga kelas kasta di Indonesia.
Spirit karakteristik kekuasaan ala feodalisme di atas pada dasarnya adalah melanggengkan kekuasaan melalui politik kekerabatan dan kekeluargaaan yang saat ini sering disebut dengan politik dinasti (kinship politics).
Antara feodalisme dan politik dinasti ini tertangkap nilai yang menunjukkan tedensi untuk membangun suatu kekuasaan dengan mempertahankan tradisi turun temurun atau masih dalam lingkungan kerabat dekat. Politik dinasti nampaknya tidak hanya ada pada era feodalisme namun juga bisa terjadi dalam organisasi Negara yang demokratis. Fenomena ini pernah disampaikan oleh Robert Michels yang mengatakan dalam organisasi demokratis sekalipun jika seorang pemimpin terpilih ia akan membuat kekuasaannya semakin mapan agar sulit untuk digeser atau digantikan bahkan bisa melakukan dengan cara mengerus prinsip-prinsip demokrasi di lapangan permainan politiknya.
Politik dinasti dengan karakteristik seperti yang disampaikan Robert Michels di atas nampaknya merupakan fenomena yang cukup berkembang dalam sistem politik Indonesia. Pesta demokrasi melalui pemilu bulan pebruari 2024 kemaren merupakan salah satu contoh kongkrit tentang berkembangnya politik dinasti di Indonesia. Politik dinasti di Indonesia saat ini seolah-olah telah menjadi sebuah trend bahkan cenderung telah menjadi identitas khas politik Indonesia.
Anehnya lagi tidak ada satupun komponen masyarakat Indonesia yang merasa risih apalagi bersalah dengan identitas politik dinasti ini. Hampir semua dari kita menerima bahkan membiarkan politik dinasti ini berkembang pada segala lini di era kedaulatan rakyat saat ini. Dalam skala politik lokal Bali, trend politik dinasti ini juga menggema dalam beberapa helatan politik.
Contoh kongkritnya sangat terlihat dalam Pimilu {Pileg} yang kita ikuti pada pemilu tanggal 14 Pebruari 2024 kemaraen. Anak, saudara ato krabat dari para pejabat publik kita baik yang pegang jabatan di Eksekutif maupun Legeslatif rame rame mengikuti bahkan mungkin numpang sukses si Ortu atao walinya.Untuk kasus Bali sepertinya politik dinasti ini ada disemua Kabupaten/Kota dalam segala tingkatan, baik tingkat Pusat. Provinsi maupun Kabupaten/Kota..
Sebenarnya politik dinasti tidak hanya ada di Indonesia, namun juga terlihat pada Negara- Negara lain bahkan Negara yang digolongkan demokratis sekalipun. Di Amerika ada dinasti Bush, di Australia ada dinasti Downer, di Pakistan ada dinasti Bhuto, di India ada dinasti Ghandi.
Namun, politik dinasti pada Negara-negara tersebut diikuti oleh kemampuan politik yang baik melalui karier dan pendidikan politik yang memadai. Bahkan kualitas pengganti dari dinasti tersebut lebih baik dari segi kapabelitas, elektabilitas termasuk dibuktikan dengan kemampuan sebagai pemimpin yang lebih baik dari pendahulunya.
Disinilah letak perbedaannya dengan politik dinasti di Indonesia. Dari kenyataan dan berbagai kasus yang ada, politik dinasti di Indonesia memperlihatkan tedensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dari abuse of power tersebut akhirnya menumbuhkembangkan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Dinasti kekuasaan akhirnya bertujuan utama untuk menutupi kesalahan orang tua atau kerabatnya dari abuse of power.
Di politik dinasti Indonesia termasuk Bali ini nampaknya identik dengan teori Lord Action yang menyatakan “Absolutely power tends to corrupt”
Politik dinasti biasanya mempergunakan nama besar orang tua atau kerabat sebagai sarana memkampanyekan diri. Ada juga mempergunakan ideologi dan program-program kerakyatan pendahulunya yang relevan sebagai kekuatan menarik masa.
Namun politik dinasti kita saat ini tidak mempunyai kekuatan jual baik dari segi prestasi orang tua maupun ideologi atau program-program kerakyatan yang layak untuk dikembangkan dan dipertahankan. Dapat dikatakan politik dinasti Indonesia hanya politik “mengadu nasib” secara turun temurun atau politik pengganti pensiun ala birokrasi Indonesia jaman orde baru yang sudah kita tinggalkan.
Posisi kunci agar politik dinasti di Indonesia tidak menjadi latah harus dimulai dari etikat dan komitmen politik pada partai politik. Partai poitik harus ditradisikan melakukan fit and propertes terhadap calon Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang akan mempergunakan kendaraan politik partai tersebut sehingga dapat dihasilkan calon pemimpin yang memiliki kapabelitas, elaktibilitas dan tract rekor baik dan diterima publik.
Partai politik juga wajib melakukan pendidikan politik pada masyarakat sehingga masyarakat mampu sebagai penseleksi, tidak hanya sebagai pemlilih. Setelah partai politik berhasil mengantarkan “tumpangannya” sebagai Gubernur, Bupati dan Wali Kota partai politik wajib memposisikan diri sebagai infrastruktur yang efektif serta social control yang representatif mewakili kepentingan publik.
Kunci penting lainnya yang wajib kita tumbuhkembangkan sekaligus kita tradisikan adalah membiasakan diri sebagai pendengar yang baik dan sensitif terhadap berbagai isu publik dan sekaligus keresahan masyarakat. Kalau tradisi mendengar dan sensitifitas elit politik itu terasah dengan baik semestinya politik dinasti tidak terjadi seperti saat ini.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan yang dimuat dalam harian Kompas tanggal 27 Oktober 2011 pernah mengatakan bahwa tidak etis klo Bupati/ Walikota yang telah berakhir masa jabatannya digantikan oleh anak atau istrinya. Pada harian tersebut Djohermansyah Djohan mengatakan “keluarga inti kepala daerah tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon Gubernur mapun Bupati atau Wali Kota. Keluarga inti yang dimaksud adalah suami atau istri dan anak”.
Terlepas dari masih atau tidak berlakunya aturan tersebut, tetapi spirit nya saya kira masih layak kita renungkan dan jadikan rujukan untu membuat demokrasi yang lebih sehat
Sumber: https://atnews.id/portal/news/22016/