
Utopia Partisipasi Bermakna dan Kontroversi Pengesahan RUU KUHAP
Gagasan “Partisipasi Bermakna” (Meaningful Participation) selalu menempati harapan utama dalam sebuah negara demokrasi modern, yang mencerminkan tidak hanya keikutsertaan rakyat dalam bidang eksekutif tapi juga di bidang legislatif. Partisipasi bukan sekadar formalitas prosedural, melainkan janji konstitusional bahwa setiap kebijakan publik, terutama undang-undang yang mengikat, harus dirumuskan atas dasar dialog otentik, keterbukaan informasi, dan—yang terpenting—penghargaan terhadap aspirasi masyarakat sipil. Janji idealisme ini menuntut tiga pilar utama: adanya Hak untuk Didengar, di mana masyarakat memiliki kesempatan menyampaikan pandangan mereka sebelum keputusan dibuat; Hak untuk Dipertimbangkan, yang mensyaratkan pandangan tersebut didokumentasikan dan dianalisis secara substantif; dan Hak untuk Diberi Penjelasan, yakni adanya argumentasi publik yang memadai jika masukan mereka ditolak.
Pengakuan akan urgensi partisipasi bermaknai telah diangkat menjadi standar hukum yang mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam putusan bersejarah itu, MK secara eksplisit menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena proses pembentukannya belum memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang bermakna secara optimal. Putusan ini seharusnya menjadi titik balik, sebuah golden standard yang wajib dipatuhi oleh lembaga legislatif dalam setiap proses pembentukan undang-undang setelahnya. Mandat konstitusional yang jelas ini menegaskan bahwa legislasi yang baik tidak hanya bergantung pada substansi, tetapi juga pada prosedur yang demokratis dan transparan.
Namun, utopia partisipasi bermakna yang telah ditegaskan oleh mahkamah itu kembali menghadapi tantangan dalam realitas proses legislasi. Kontroversi pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)—sebuah regulasi fundamental yang menentukan wajah sistem peradilan pidana, menyentuh prosedur penangkapan, penyidikan, hingga persidangan—menjadi cerminan adanya jarak antara harapan publik dan praktik yang ada. Ketidakpuasan masyarakat terhadap proses RUU KUHAP lebih didorong oleh anggapan bahwa pemenuhan asas transparansi dan partisipasi bermakna belum dilakukan secara optimal, sehingga memicu kontroversi di kalangan publik. Alih-alih menjadikan putusan MK sebagai pedoman yang mutlak, proses RUU KUHAP justru mengindikasikan adanya kemiripan tantangan prosedural yang sama, seolah-olah preseden hukum tertinggi negara belum sepenuhnya terinternalisasi.
Proses RUU KUHAP menunjukkan adanya keterbatasan akses dokumen, di mana draf final RUU seringkali baru dapat diakses publik hanya beberapa saat menjelang pengesahan. Situasi ini secara efektif membatasi kemampuan masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum untuk melakukan analisis mendalam dan menyusun kritik yang terukur. Selanjutnya, sesi konsultasi yang diadakan cenderung bersifat prosedural. Ketidakpercayaan terhadap proses ini bahkan ditunjukkan melalui sikap tegas dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro, yang secara publik menyatakan tidak pernah hadir dalam kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tersebut, sekaligus memprotes penggunaan nama organisasinya oleh DPR di media sosial sebagai peserta. Sikap ini menunjukkan pandangan bahwa kegiatan prosedural semacam itu tidak menjamin masukan substantif akan dipertimbangkan, dan menolak kehadirannya hanya dijadikan stempel legitimasi. Belum optimalnya penyerapan masukan kritis ini merusak prinsip esensial Hak untuk Dipertimbangkan yang diamanatkan oleh MK. Semua ini diperburuk oleh kecepatan legislasi yang berpotensi mengorbankan kualitas; keputusan untuk mempercepat pengesahan sebuah undang-undang sepenting KUHAP menunjukkan adanya prioritas politik yang lebih mendominasi daripada pertimbangan kualitas dan legitimasi sosial. Akselerasi tersebut secara langsung mempersempit ruang untuk dialog bermakna.
Apa yang terjadi dalam proses RUU KUHAP ini mencerminkan jurang lebar antara demokrasi prosedural—memenuhi ceklis formal seperti rapat dan voting—dengan demokrasi substantif—membangun konsensus dan legitimasi melalui keterbukaan. Hukum yang lahir dari proses yang dianggap kurang transparan, terutama setelah adanya peringatan keras dari putusan MK, akan menghadapi defisit legitimasi yang kronis. Undang-undang seperti ini akan selalu dicurigai, bukan sebagai instrumen keadilan yang didukung publik. Dalam konteks KUHAP, defisit ini sangat berbahaya karena ia menjadi kerangka kerja penegakan hukum. Jika kerangkanya rapuh secara proses, maka keadilan yang dihasilkannya pun akan dipertanyakan.
Untuk menutup jurang ini, perlu adanya kerangka idealis yang diterapkan secara konsisten dalam proses legislasi, menjadikan Putusan MK sebagai kompas utama. Pertama, DPR dan Pemerintah harus menjamin akses penuh dan tepat waktu terhadap setiap draf RUU. Kedua, dialog harus bersifat timbal balik dan otentik, di mana setiap masukan publik didokumentasikan, dianalisis, dan jika ditolak, diberikan penjelasan resmi dan rasional yang dipublikasikan secara transparan. Ini harus mencakup jaminan bahwa nama peserta tidak akan disalahgunakan untuk tujuan legitimasi palsu. Ketiga, waktu yang memadai harus dialokasikan untuk pembahasan substansial, bukan didikte oleh target politik jangka pendek. Inilah kerangka idealis partisipasi bermakna yang wajib diwujudkan: sebuah proses yang tidak hanya mengundang, tetapi juga mendengarkan dan mempertimbangkan secara jujur. Pengesahan RUU KUHAP yang kontroversial ini harus menjadi alarm pengingat bahwa pemenuhan partisipasi bermakna bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah kewajiban konstitusional yang menentukan kualitas demokrasi dan kepercayaan publik. Pembentukan hukum sudah sepatutnya menuntut kembalinya proses yang adil untuk menghasilkan hukum yang adil. Suatu utopia yang kini harus dipegang sebagai dalam setiap pembentukan hukum, baik di tingkat pusat maupun daerah sebagaimana yang dijelaskan panjang lebar pada Putusan MK dan menjadi marwah konstitusi.




